Selasa, 09 Juni 2015

Makalah Fiqih tentang Haji



BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Agama Islam bertugas mendidik jasmani manusia, mensucikan jiwa manusia, dan membebaskan diri manusia dari hawa nafsu. Dengan ibadah yang tulus ikhlas dan aqidah yang murni sesuai kehendak Allah, insya Allah kita akan menjadi orang yang beruntung.Ibadah dalam agama Islam banyak macamnya. Haji adalah salah satunya, yang merupakan rukun iman yang kelima. Ibadah haji adalah ibadah yang baik karena tidak hanya menahan hawa nafsu dan menggunakan tenaga dalam mengerjakannya, namun juga semangat dan harta.
Dalam mengerjakan haji, kita menempuh jarak yang demikian jauh untuk mencapai Baitullah, dengan segala kesukaran dan kesulitan dalam perjalanan, berpisah dengan sanak keluarga dengan satu tujuan untuk mencapai kepuasan batin dan kenikmatan rohani.
Untuk memperdalam pengetahuan kita, penulis mencoba memberi penjelasan secara singkat mengenai pengertian haji dan umrah, tujuan yang ingin kita capai dalam haji dan umrah, dasar hukum perintah haji dan umrah, syarat, rukun dan wajib haji dan umrah serta hal-hal yang dapat membatalkan haji dan umrah.
B.     Rumusan Masalah
1.      Apakah pengertian Haji?
2.      Apakah syarat-syarat Haji dan Umrah?
3.      Apakah rukun-rukun Haji?
4.      Apakah Wajib Haji?
5.      Apakah sunnah Haji dan Umrah?
6.      Apakah pengertian Umrah?
7.      Apakah rukun Umrah itu?
8.      Bagaimana Cara Melaksanakan Haji dan Umrah?
9.      Apakah larangan ketika Ihram?

C.     Tujuan Masalah
1.      Untuk memaparkan pengertian haji.
2.      Untuk memaparkan syarat-syarat Haji dan Umrah.
3.      Untuk memaparkan rukun-rukun Haji.
4.      Untuk memaparkan Wajib Haji.
5.      Untuk memaparkan sunnah Haji dan Umrah.
6.      Untuk memaparkan pengertian Umrah.
7.      Untuk memaparkan rukun Umrah itu.
8.      Untuk memaparkan cara melaksanakan Haji dan Umrah.
9.      Untuk memaparkan larangan ketika Ihram.




















BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Haji
      Haji atau Hiji menurut arti bahasa bermakna “menuju atau menyengaja”, atau banyak-banyak menuju kepada sesuatu yang diangungkan. Sedang syara’ adalah menuju Ka’bah untuk menunaikan ibadah. Seperti yang akan diterangkan berikut ini. Ibadah haji termasuk salah satu syari’at para Nabi terdahulu.[1]
      Haji diwajibkan atas orang yang kuasa ,satu kali seumur hidupnya. Dan ibadah haji itu wajib segera dikrjakan. Artinya , apabila orang tersebut telah memenuhi syarat-syaratnya, tetapi masih dilalaikannya juga (tidak dikerjakan pada tahun ini), maka ia berdosa karena kelalaiannya itu.[2]
Firman Allah Swt:
ولله على الناس حج البيت من استطا عاليه سبيلا. ا ل عمران: 
“Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah ,yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah.” (Ali Imron: 97)
Sabda Rasulullah Saw :
عن ابن عباس قال النبى صلى ا لله عليه وسلم : تعجلوا الى ا لحج فا ن ا حد كم الا يدرى ما يعر ض له. رواه أ حمد
Dari Ibnu Abbas. Nabi Besar Saw, telah berkata, “Hendaklah kamu bersegera mengerjakan haji karena sesungguhnya seseorang tidak akan menyadari suatu halangan yang akan merintanginya.”(Riwayat Ahmad).


B.     Syarat-Syarat  Wajib Haji dan Umrah
       Syarat wajibnya haji dan umrah itu ada tujuh perkara, yaitu :[3]
1.      Islam
2.      Baligh (sudah dewasa)
3.      Berakal sehat
4.      Merdeka
“Maka tidak wajib haji bagi orang yang mempunyai sifat bertentangan dengan sifat-sifat tersebut itu”.
5.      Ada bekalnya beserta tempatnya bila memang butuh tempat, sebab kadang-kadang ada juga yang tidak butuh tempat bekal, sebagaimana orang yang dekat dengan negeri Makkah, dan disyaratkan pula adanya air di tempat yang biasanya dapat membawa air dengan harga yang umum.
6.      Ada kendaraannya, yakni kendaraan yang pantas untuk dibeli atau disewa. Hal ini jika antara orang itu dengan negeri Makkah jaraknya dua kali angkatan atau bahkan lebih dari itu, baik dapat ditempuh dengan berjalan kaki atau tidak.
Jika antara dia dan negeri Makkah tidak ada dua kali angkatan (perjalanan)  sedang orang itu kuat menempuh dengan berjalan kaki, maka wajib baginya menunaikan haji tanpa kendaraan.
Dan disyaratkan juga bahwa bekal itu tadi lebih setelah untuk membayar hutangnya dan dari ongkos pembiayaan orang yang menjadi tanggungannya selama waktu perginya dan pulangnya.
Juga harus sudah lebih untuk mencukupi kebutuhan rumah (dengan biaya yang wajar) juga lebih dari pembiayaan yang pantas untuk budak yang ada di dalam rumah itu tadi. 
7.      Keadaan jalannya sunyi, maksudnya ialah keadaan perjalanan menurut perkiraan sangat aman (tidak ada gangguan) sekiranya masih terdapat benda-benda yang pantas di tiap-tiap  tempat. Jika sekiranya seseorang merasa tidak aman akan dirinya, hartanya atau kehormatannya maka tidaklah wajib berhaji.
Adapun perkataan mushannif “dan mampu menunaikan” itu tetap ada di dalam sebagian keterangan. Sedang yang dikehendaki dengan “mampu” ialah suatu keadaan yang tetap wujud sesudah adanya bekal, dan kendaraan yang pada suatu saat memungkinkan berjalan sesuai yang dijanjikan.
Jika seseorang itu mampu hanya saja dia butuh memutuskan perjalanan dua kali angkatan dalam sebagian hari-hari (yang ditempuh), maka baginya tidak wajib haji karena dalam keadaan sengsara.
C.    Rukun Haji
Rukun-rukun haji itu ada empat, yaitu:[4]
1.      Ihram yang disertai dengan niat, yakni niat masuk menuanaikan haji.
2.      Wukuf di tanah Arafah, yang dimaksudkan ialah datangnya orang yang ihram haji dalam   Dzulhijjah dengan syarat, bahwa orang yang wukuf itu ahli ibadah, tidak gila dan tidak pula ayan.
Waktu wukuf (di tanah Arafah)  itu berlangsung terus sampai datangnya fajar hari raya Qurban yang tanggal 10 Dzulhijjah.
3.      Thawaf di Baitullah (Ka’bah) sebanyal 7 kali putaran. Thawaf tersebut dimulai dari arah Hajar Aswad, seluruh badannya ditepatkan (ketika memulai) pada Hajar Aswad itu.
Seandainya seseorang memulai thawaf selain di Hajar Aswad, maka thawafnya ini tidak ada artinya.
Syarat Thawaf : [5]
a.          Menutup aurat,
b.         Suci dari hadas dan najis,
c.          Ka’bah hendaknya di sebelah kiri orang yang thawaf,
d.         Permulaan thawaf itu hendaknya dari Hajar Aswad,
e.          Thawaf itu hendaklah tujuh kali 
f.         Thawaf itu hendaklah di dalam masjid karena Rasulullah saw melakukan thawaf di masjid.
Sunnah Thawaf:[6]
a.          Mengusap dan mencium (mengecup) Hajar Aswad
b.         Mengusap rukun Yamani
c.          Berjalan kaki
d.         Tanpa alas kaki
e.         Berselendang (kedua ujungnya terletak di pundak kiri dan bagian tengahnya terletak di bawah bagian ketiak kanan) di dalam thawaf yang ada lari kecilnya. (Pria)
f.         Lari kecil (di dalam thawaf yang akan disambung dengan sa’i) pada putaran ke- 1, 2 dan 3. (Pria)
g.         Mengucapkan do’a-do’a dari Nabi SAW di dalam thawaf
h.        Shalat sunnat thawaf 2 rakaat seteleh selesai thawaf. (Dapat dilakukan sesudah beberapa minggu, walaupun tidak di dalam Masjidil Haram. Tapi, yang lebih utam di belakang Maqam Ibrahim).
Macam-macam thawaf :[7]
a)        Thawaf qudum (thawaf ketika baru sampai) sebagai shalat tahiyatul masjid.
b)         Thawaf Ifadah (thawaf rukun haji).
c)         Thawaf Wada’ (thawaf ktika akan meninggalkan makkah.
d)        Thawaf Tahallul (penghalalan barang yang haram ketika ihram.
e)         Thawaf Nadzar (thawaf yang dinazarkan)
f)          Thawaf sunah

4.      Sa’i antara Shafa dan Marwah sebanyak  kali.
Adapun syaratnya Sa’i, yaitu hendaknya seseorang memulai pada permulaan Sa’inya dari Shafa dan mengakhirinya di Marwah. Dan dihitung perginya orang dari Shafa ke Marwah satu kali, kemudian kembalinya dari Marwah ke Shafa dihitung lagi satu kali.
“Shafa” dengan dibaca pendek, pengertiannya ialah bagian pinggir dari bukit Abi Qubaisy, sedang “Marwah”  dengan dibaca fat-hah mimnya artinya itu nama bagi suatu tempat yang sudah terkenal di negeri Makkah.
Dan masih ada lagi beberapa rukun haji, seperti mencukur atau menggunting rambut. Hal ini jika memang saya menjadikan masing-masing dari keduanya sebagai ibadah (rukun) dan demikian itu adalah pendapat yang masyhur.
Jika aku berkata, bahwa sesungguhnya masing-masing dari keduanya itu sebagai usaha memperbolehkan perkara yang dilarang, maka keduanya bukanlah termasuk  dari golongan rukun-rukun haji.
       Sunnah Sa’i:[8]
a.       Suci dari kedua hadas dan suci dari najis
b.      Menutup aurat
c.       Naik ke atas trap (jalan tanjakan) Shafa dan Marwah
d.      Lari kecil antara dua tanda Pal/Lampu Hijau (bagi pria)
e.       Membaca do’a dan dzikir yang datang dari Nabi Muhammad SAW.
f.       Berturut-turut antara pelaksanaan Thawaf 7 kali dan disambung Sa’i, dan berturut-turut antara Sa’i yang satu dengan yang berikutnya.
Tetapi ada Qoul Mashur yang berpendapat bahwa dalam rukun haji itu juga mencakup mencukur rambut dan tertib. Pendapat ini diambil dari kitab Fathul Qarib Mujib :
وبقى من ا لحج الحلق والتفصيران جعلنا كلا منهما نسكا وهو المشهور
D.    Wajib Haji
      Perkataan wajib dan rukun biasanya berarti sama, tetapi di dalam urusan haji ada perbedaan sebagai berikut :[9]
Rukun  : sesuatu yang tidak sah haji melainkan dengan melakukannya, dan ia tidak boleh diganti dengan “dam” (menyembelih kambing).
Wajib     : sesuatu yang perlu dikerjakan ,tetapi sahnya haji tidak bergantung padanya, dan boleh diganti dengan mnyembelih binatang.
1)      Ihram dan miqat.
2)      Berhenti di Muzdalifah sesudah tengah malam.
3)      Melontar Jumrah Aqobah.
4)      Melontar tiga jumrah.
5)      Bermalam di mina.
6)      Thawaf wada’.
7)      Menjauhkan diri dari semua larangan atau yang diharamkan.
E.     Sunah Haji dan Umrah
Adapun sunah-sunah haji dan umrah itu ada tujuh yaitu:[10]
a)      Mengerjakan Ifrad, yaitu mendahulukan mengerjakan ihram haji daripada ihram umrah, yakni seseorang mengerjakan ihram haji dahulu dari miqatnya haji, sesudah selesai mengerjakan haji kemudian hendaknya keluar dari Makkah menuju tanah halal (miqat) yang lebih dekat. Lalu ihram umrah disertai mengerjakan amalan-amalan dalam umrah. Jika seseorang membaliknya (umrah dahulu baru haji), maka tidak dapat dikatakan ifrad.
b)      Membaca talbih, di dalam membaca talbih disunnahkan untuk memperbanyak selama dalam ihram dan juga disunnahkan mengeraskan suaranya. Adapun lafadznya tablih yaitu sebagai brikut:
Labbaika Allahumma labbaikala syariika laka labbaika. Innal Hamda Wan Nikmata laka wal Mulka laa syarika laka
Ketika telah selesai dari membaca talbih maka hendaknya dilanjutkan dengan membaca shalawat Nabi dan bermohon kepada Allah SWT, agar dapat masuk surga dan mendapatkan ridhanya serta terpelihara dari api neraka.
c)      Thawaf Qudum, thawaf ini dikhususkan kepada orang yang haji sewaktu memasuki Makkah sebelum Wuquf di ‘Arafah. Bagi orang yang umrah ketika dia thawaf karena umrahnya, maka cukuplah mengerjakan thawaf qudum ini.
d)     Bermalam di Muzdalifah, selanjutnya bahwa bermalam di Muzdalifah ini terhitung masuk beberapa sunnah haji adalah sesuai dengan isi pembicaraan Imam Rafi’i, tetapi menurut Imam Nawawi hal itu termasuk ziyadah (tambahannya) kitab Raudlah dan Syarah kitab Muhadzab, yakni bahwa bermalam di Muzdalifah itu termasuk wajib.
e)      Mengerjakan shalat dua rakaat karena thawaf yakni sesudah selesai dari mengerjakan thawaf. Shalat dua rakaat itu hendaknya dilakukan di belakang makam Ibrahim a.s.
Dan hendaknya merendahkan suara bacaan dalam dua rakaat shalat itu (di waktu siang) dan mengeraskannya di waktu malam. Apabila orang itu tidak mengerjakan shalat dua rakaat di belakang Ibrahim, maka boleh mengerjakannya di Hijir Isma’il, jika tidak dapat maka boleh di Masjidil Haram dan jika di Masjidil Haram tidak dapat, maka boleh melakukannya di tempat yang dikehendaki dari tanah Haram dan lainnya.
f)       Bermalam di Mina. Imam Rafi’i sudah mengesahkan hal ini, tetapi bagi Imam Nawawi tersebut di dalam ziyadah kitab raudlah mengatakan bahwa bermalam di Mina itu wajib.
g)      Mengerjakan thawaf wada’ ketika hendak keluar dari tanah Makkah, baik dari pergi untuk mengerjakan ibadah haji atau tidak karena menuanaikan ibadah haji, sekalipun jarak bepergiannya itu jauh atau dekat.
Keterangan mushannif tersebut yakni disunnahkannya Thawaf Wada’ adalah merupakan pendapat yang terunggul, tetapi menurut pendapat yang lebih jelas mengatakan bahwa Thawaf Wada’ itu wajib hukumnya.
Sebagaimana keterangan yang terdapat dalam kitab Syarah Muhadz-dzab, bahwa jika wajib bagi orang laki-laki untuk tidak memakai pakaian yang terdapat jahitan dan tidak terdapat sulaman dan ikatan pada pakaian seperti sepatu.
Hendaknya orang tersebut memakai kain dan selendang yang keduanya berwarna putih dan dalam keadaan masih baru. Jika seandainya tidak ada kain yang baru, maka  yang penting keduanya dalam keadaan suci.    
F.      Pengertian Umrah
      Hukum umrah adalah fardu’ain atas tiap-tiap orang laki-laki atau perempuan , sekali seumur hidup, seperti haji.[11]
Firman Allah Swt :
وَ اَ تِمُّو االْحَجَ وَالْعُمَرَةَ لِلهِ
“Dan sempurnakanlah ibadah haji dan umrah karna Allah.” (Al-Baqarah : 196)
Sabda Rasulllah saw :
عَنْ عَا ئِشَة قَا لَتْ : يَا رَسُوْلُ اللهِ هَلْ عَلَ النِّسَا ءِ  مِنْ جِهَادٍ ؟ قَا لَ نَعَمْ عَلَيْهِنَّ جِهَا د لَا قَتَا لَ فَيْهَ الْحَجُّ وَالْعُمْرَةُ
Dari Aisyah. Ia bertanya kepada Rasulullah saw, “Adakah wajib atas perempuan berjihad?” Jawaban beliau, “Ya ,tetapi jihad mereka bukan peperangan ,melainkan mengerjakan haji dan umrah.” (Riwayat Ahmad dan Ibnu Majah).
G.    Rukun Umrah
Adapun rukun-rukunnya umrah itu ada tiga perkara sebagaimana menurut sebagian keterangan, tetapi menurut sebagaian keterangan lain rukun-rukun umrah itu ada empat perkara yaitu:[12]
a)      Ihram
b)      Thawaf
c)      Sa’i
d)     Mencukur atau menggunting rambut (menurut salah satu dari dua pendapat).
“Mengikuti salah satu dari dua pendapat itu adalah lebih unggul, seperti keterangan yang baru saja disebutkan di muka. Jika tidak mengikuti maka berarti mencukur atau menggunting rambut itu tidak termasuk dalam rukun-rukunnya umrah”.
Beberapa kewajiban haji selain daripada rukun-rukun umrah itu ada tiga perkara:[13]
Pertama: melakukan Ihram dari batas yang tepat menurut keadaan (masa) dan tempat.
Adapun yang dimaksud dengan “Miqat Zamany” ialah dinisbatkan pada waktu musim haji yakni: bulan Syawal, Dzul Qa’dah dan 10 malam dari bulan Dzil Hijjah. Sedang bila dinisbatkan kepada masa Umrah maka sepanjang tahun itu menjadi waktunya menunaikan Ihram Umrah.
Miqat Makany” ialah haji bagi orang yang menetap (mukim) di negeri Makkah, baik dia sebagai penduduk Makkah atau mengembara, maka miqatnya di lingkungan Makkah itu sendiri.
Bagi orang yang bukan berstatus mukim di negeri Makkah maka:[14]
a)      Jika orang itu menghadap dari jurusan Madinah, maka miqatnya ialah di Dzul Hulaifah.
b)      Jika menghadap dari jurusan Syam, Mesir, dan Maghribi, maka miqatnya di desa Juhfah.
c)      Jika menghadap dari jurusan Tihamatil Yaman, maka miqatnya ialah di Yulamlam.
d)     Jika menghadap dari jurusan tanah Najdil Hijaz dan NadjilYaman, maka miqatnya di Bukit Qarn.
e)      Dan jika menghadap dari jurusan tanah Masyriq, maka miqatnya dari Dzatu ‘Iraq.
Kedua: melempar jumrah tiga dengan memulai pada jumrah Ula (Kubra), kemudian jumrah Wustha dan lalu jumrah ‘Aqabah.
Hendaknya dalam melempar masing-masing jumrah tersebut dengan menggunakan tujuh buah batu kerikil satu demi satu.
Jika orang melempar jumrah dengan dua buah batu kerikil sekaligus (1 kali lemparan) maka dihitung satu kali lemparan. Dan seandainya melemparkan dengan 1 batu kerikil untuk tujuh kali lemparan maka dibilang cukup (syah).
Disyaratkan benda yang dibuat melempar itu berupa “batu” , tidak boleh lainnya seperti luk” (inten) dan gamping (kapur).
Ketiga : mencukur rambut atau menggunting. Adapun yang lebih utama bagi orang laki-laki yaitu mencukur. Sedangkan bagi orang permpuan dengan menggunting saja.
Dalam mencukur rambut paling tidak (paling sedikit) tiga biji rambut kepala dengan mencukur ,menggunting, mencabut atau mmbakar atau juga dengan memotongnya.
Barang siapa tidak mempunyai rambut pada kepalanya, maka boleh hanya dengan menjalankan(menggerak-gerakkan) penyukur diatas kepalanya. Tidak dapat menggantikan rambut selain rambut kepala seperti rambut jenggot.
H.    Cara-Cara Pelaksanaan Haji dan Umrah
       Ada tiga cara melaksanakan haji dan umrah :[15]
     Pertama, Ifrod (yang paling afdol diantara ketiga cara). Yaitu , mengerjakan haji terlebih dahulu secara sempurna. Apabila telah melakukannya, kembali ke kawasan hill (halal) yakni diluar kawasan haram, (lalu berihram untuk mengerjakan umrah.
Tempat paling afdhol diluar kawasan haram, untuk melakukan ihram ‘umrah ialah desa al-jikranah ,kemudian At-tan’im, al-hudaibiyah. Sorang yang melakukan haji secara ifrod , tidak dibebani dam, kecuali jika ia ingin ber-tathawwu’ (membayar dam secara suka rela demi memperoleh pahala semata-mata).
     Kedua, Qiron yaitu meniatkan haji dan umrah bersama-sama ,dengan mengucapkan :
Labbaika bi hajjatin wa ‘umrotin ma’a (ma’an).
Artinya : Ya Allah aku datang memenuhi perintah-Mu, dengan mengerjakan haji dan umrah bersama-sama.
     Dengan demikian, cukuplah melaksanakan pekerjaan-pekerjaan haji saja. Sedangkan pekerjaan-pekerjaan umrah, secara otomatis telah gugur dan trgabung dalam pkerjaan-pekerjaan haji, sama seperti kewajiban berwudlu yang secara otomatis tergabung dalam pelaksanaan mandi wajib. Hanya saaja, apabila ia berthawaf dan br sa’i sebelum wukuf di arafah, maka sa’inya itu terhitung sebagai pelaksanaan kewajiban sa’i untuk haji dan umrah, sedangkan thawafnya tidak terhitung. Sebabnya ialah, karena thawaf yang difardukan dalam haji, haruslah berlangsung stelah wukuf orang yang melaksanakan haji dan umrah secara Qiran diharuskan membayar dam (denda) seekor domba. Kecuali apabila ia adalah penduduk kota makkah, maka tidak ada denda atas dirinya. Hal itu, karna ia tidak dianggap melampaui miqat. Sedangkan miqatnya ialah Makkah.
     Ketiga Tamattu’, yaitu dengan melakukan ihram umrah lalu melintasi miqot dalam keadaan ihram, dan setelah selesai umrahnya itu, ia segera bertahallul di Makkah.  Dengan demikian ia dapat bertamattu’ (menikmati) hal-hal yang seharusnya terlarang baginya. Keringanan ini berlaku baginya sampai saat ia akan memulai ihram hajinya (yakni sampai menjelang wukuf di Arafah.
Seseorang hanya dapat disebut bertamattu’ karena adanya 4 kondisi :[16]
a.       Apabila ia bukan penduduk kawasan Al Masjid Al Haram.  Seseorang dapat disebut sebagai penduduk kawasan al masjid al haram apabila tempat tinggalnya kurang dari jarak yang memperbolehkannya mengqosor shalatnya (dengan demikian seperti telah disebutkan diatas ia tidak terkena kewajiban membayar denda apabila tidak memulai ihram dari miqat, mengingat bahwa miqatnya ialah Makkah itu sendiri).
b.      Apabila ia mendahulukan umrah sebelum haji, dan umrahnya itu dilakukannya dalam bulan-bulan haji.
c.       Apabila ketika ber ihram untuk haji,ia tidak kembali ke miqat asalnya atau  miqat lainnya yang berjarak sama seperti miqat asalnya.
d.      Apabila hajinya dan umrah yang dilakukannya dalam rangka mewakili atau menggantikan kewajiban seseorang tertentu. (dengan demikian jika ia melakukan umrah atas nama seseorang, kemudian setelah itu mlakukan haji atas nama orang lain, maka ia tidak disebut sebagai telah ber tamattu’).
Demikian apabila ke empat kondisi tersebut di atas ada pada diri seseorang, maka ia disebut telah bertamattuk, dan karenanya ia diwajibkan membayar dam (denda) seekor domba.
  Dan sekiranya ia tidak dapat membayar dam seperti itu, maka ia diwajibkan berpuasa selama tiga hari diantara hari-hari haji , yaitu sebelum yaum an-nahr (hari raya haji) baik berturut-turut atau terpisah-pisah kemudian setelah ia tiba kembali ke tanah airnya ,ia diwajiban berpuasa lagi sebanyak tujuh hari  sehingga jumlah semuanya sepuluh hari.
Dan sekiranya ia tidak berpuasa tiga hari pada hari-hari haji, maka ia diwajibkan berpuasa 10 hari setelah pulang ketanah airnya, secara berturut-turut  atau terpisah-pisah.
Dam (denda) yang diwajibkan karena Qiran sama saja dengan tamattu’. Adapun urutan-urutan cara haji yang paling afdol ialah Ifrod, kemudian tamattu’, kemudian Qiran.
I.     Beberapa Larangan Ketika Ihram
      Hal-hal yang tidak boleh dikerjakan oleh orang yang sedang dalam ihram haji atau umrah ada yang terlarang hanya laki-laki saja, ada yang terlarang bagi perempuan saja, dan pula terlarang bagi keduanya (laki-laki dan perempuan).[17]


Yang dilarang bagi laki-laki:
a.       Dilarang memakai pakaian yang berjahit, baik jahitan biasa atau bersulaman, atau diikatkan kedua ujungnya. Yang dimaksud adalah tidak boleh memakai pakaian yang melingkungi badan (seperti kain sarung). Yang diperbolehkan ialah kain panjang, kain basahan / handuk. Boleh juga memakai kain tersebut kalau karena keadaan yang mendesak, seperti sangat dingin, atau panas, tetapi ia wajib membayar denda (dam).
b.      Dilarang menutup kepala, kecuali karena suatu keperluan, maka diperbolehkan , tetapi ia wajib membayar denda (dam). Maka kadaannya dibangkitkan seperti sewaktu membaca talbiyah itu menunjukkan bahwa dilarang menutup kepala itu karena ihram.
Yang dilarang bagi perempuan :
       Dilarang menutup muka dan dua telapak tangan, kecuali apabila keadaan mendesak, maka ia boleh menutup muka dan dua telapak tangnnya , tetapi diwajibkan membayar fidyah.
Yang dilarang bagi keduanya (laki-laki dan perempuan)
1)   Dilarang memakai wangi-wangian, baik pada badan maupun pada pakaian. Adapun ketinggalan bau wangi-wangian yang dipakai sebelum ihram hingga masih tetap tinggal sesudahnya , tidak berdosa, bahkan Rasulullah SAW, apabila hendak ihram , biasanya beliau memakai wangi-wangian lebih dahulu.
2)   Dilarang menghilangkan rambut/bulu badan yang lain, begi juga berminyak rambut.
3)   Dilarang memotong kuku. Keterangannya dikiaskan pada larangan menghilangkan rambut. Menghilangkan tiga helai rambut atau tiga kuku , mewajibkan fidiyah yang cukup dengan syarat pada tempat dan masa yang satu. Mencukur rambut karena udzur seperti sakit diperbolehkan tetapi wajib membayar fidyah.
4)   Dilarang mengakadkan nikah (menikahkan ,menikah atau menjadi wakil dalam akad pernikahan). Rujuk tidak dilarang, sebab rujuk itu berarti mengekalkan pernikahan, bukan akad nikah.
5)   Dilarang bersetubuh dan pendahuluannya. Bersetubuh itu bukan hanya dilarang, tetapi memfasidkan haji apabila terjadi sebelum mengerjakan penghalal yang pertama.
6)   Dilarang berburu dan membunuh binatang darat yang liar dan halal dimakan. Adapun yang dimakan binatang yang diburu oleh orang lain, tidak ada halangan bagi orang ihram, asal niat orang yang berburunya bukan untuk orang ihram.
Tahallul (penghalalan beberapa larangan)
Penghalalan beberapa larangan ada tiga perkara :[18]
a.    Melontar Jumrah ‘Aqobah pada hari raya.
b.    Mencukur atau menggunting rambut.
c.    Thawaf yang diiringi dengan sa’i, kalau ia belum sa’i sesudah thawaf qudum.
Apabila dua perkara diantara tiga perkara tersebut telah dikerjakan, halallah baginya baginya beberapa larangan brikut ini :
a)      Memakai pakaian berjahit.
b)      Menutup kepala bagi laki-laki dan menutup muka telapak tangan bagi perempuan.
c)      Memotong kuku.
d)     Memakai wangi-wangian,minyak rambut, dan memotongnya kalau ia belum bercukur.
e)      Berburu dan membunuh binatang yang liar.
Maka apabila dikerjakannya satu perkara lagi sesudah dua perkara yang pertama tadi, hasillah penghalal yang kedua, dinamakan ‘tahallul ke dua’, dan halallah semua larangan yang belum halal pada tahallul pertama tadi. Sesudah itu ia wajib meneruskan beberapa pekerjaan haji yang belum dikerjakannya kalau ada, umpamanya melontar ,sedangkan ia tidak dalam ihram lagi. Adapun penghalal umrah yaitu sesudaah selesai dari semua pekerjaannya.



Beberapa Jenis Dam (denda) :[19]
1.      Dam (denda) tamatu’ atau qiran. Artinya, orang yang mengerjakan haji dan umrah dengan cara tamatu’ atau qiran, ia wajib membayar denda; dendanya wajib diatur sebagai berikut:
a.       Menyembelih seekor kambing yang sah untuk qurban.
b.      Kalau tidak sanggup memotong kambing, ia wajib berpuasa 10 hari: 3 hari wajib dikerjakan sewaktu ihram paling lambat sampai Hari Raya Haji, 7 hari lagi wajib dikerjakan sesudah ia kembali kenegerinya.
2.      Dam (denda) karena terkepung (terhambat). Orang yang terhalang dijalan tidak dapat meneruskan pekerjaan haji atau umrah, baik terhalang di Tanah Halal atau di Tanah Haram, sedangkan tidak ada jalan lain, ia hendaknya tahallul dengan menyembelih seekorkambing ditempatnya terhambat itu, dan mencukur rambut kepalanya. Menyembelih dan bercukur itu hendaklah dengan niat tahallul (penghalalan yang halal).
3.      Dam (denda) karena mengerjakan salah satu dari beberapa larangan berikut :
a.       Mencukur atau menghilangkan tiga helai rambut atau lebih.
b.      Memotong kuku.
c.       Mamakai pakaian yang berjahit.
d.      Memakai minyak rambut.
e.       Mamakai minyak wangi baik pada badan ataupun pada pakaian.
f.        Pendahuluan bersetubuh sesudah tahallul utama.
Denda kesalahan tersebut boleh memilih antara tiga perkara: menyembelih seekor kambing yang sah untuk korban, puasa tiga hari, atau bersedekah tiga sa’ (9,3 liter) kepada 6 orang miskin.[20]
4.      Dam (denda) karena bersetubuh yang membatalkan haji dan umrah apabila terjadi sebelum tahallul pertama. Denda itu wajib diatur sbagai berikut: mula-mula wajib menyembelih unta, karna umar telah berfatwa dengan wajibnya unta. Kalau tidak dapat unta, dia wajib memotong sapi. Kalau tidak ada sapi, menyembelih 7 ekor kambing. Kalu tidak dapat kambing, hndaklah dihitung harga unta dan dibelikan makanan, lalu makanan itu disedekahkan kepada fakir miskin ditanah haram. Kalu tidak dapat makanan, hendaklah puasa. Tiap-tiap ¼ sa’ dari harga unta tadi, harus puasa 1hari, tempat puasa dimana saja, tetapi menyembelih unta atau sapi, begitu juga bersdekah mkanan, wajib dilakukan ditanah haram. Cara tersebut ialah pendapat sebagian ulama’, beralasan fatwa umar. Ulama’ yang lain berpendapat wajib menyembelih seekos kambing saja, mereka mengambil alasan hadits mursal yang diriwayatkan oleh abu Dawud.
5.      Dam (denda) membunuh buruan atau binatang liar. Binatang liat ada yang mempunyai bandingan atau missal dengan binatang yang jinak, berarti ada binatang jinak yang keadaannya mirip dngan binatang liar yang terbunuh, dan ada yang tidak. Kalau binatang yang terbunuh itu mempunyai bandingan, dendanya menymbelih binatang jinak yang sebanding dengan yang terbunuh. Atau dihitung harganya, dan sebanyak harga itu dibelikan makanan. Makanan itu disedekahkan kepada fakir miskin di Tanah Haram. Atau puasa sebanyak harga binatang tadi, tiap-tiap seperempat sa’ makanan berpuasa 1 hari. Bolh memilih antara 3 perkara tersbut, tetapi menyembelih atau bersedekah makanan wajib dilakukan di Tanah Haram, sedangkan puasa boleh dimana saja.
Kalau binatang yang terbunuh itu tidak ada bandingannya, dendanya besedekah makanan sebanyak harga binatang yang terbunuh, kepada fakir miskin di Tanah Haram, atau puasa tiap-tiap ¼ sa’ 1 hari.











BAB III
PENUTUP
Kesimpulan:
1.      Haji menurut syara’ ialah sengaja mengunjungi Ka’bah (Rumah Suci) untuk melakukan beberapa amal ibadah, dengan syarat-syarat yang tertentu.
2.      Syarat-syarat Haji dan umrah ialah: Islam, baligh, berakal sehat, merdeka, Ada bekalnya beserta tempatnya bila memang butuh tempat, ada kendaraannya, keadaan perjalanan menurut perkiraan sangat aman.
3.      Rukun haji yaitu: Ihram yang disertai dengan niat, wukuf di tanah Arafah, Thawaf di Baitullah (Ka’bah) sebanyak tujuh kali putaran, dan Sa’i antara Shafa dan Marwah sebanyak  kali.
4.      Wajib Haji yaitu: Ihram dan miqad, berhenti di Muzdalifah sesudah tengah malam, melontar Jumrah Aqobah, melontar tiga jumrah, bermalam di mina, thawaf wada’, menjauhkan diri dari semua larangan atau yang diharamkan.
5.      Sunnah haji ialah: mengerjakan ifrad, membaca talbih, thawaf qudum, bermalam di Muzdalifah, mengerjakan sholat dua raka’at karena thawaf, bermalam di Mina, mengerjakan thawaf Wada’.
6.      Hukum umrah adalah fardu’ain atas tiap-tiap orang laki-laki atau perempuan , sekali seumur hidup, seperti haji.
7.      Rukun Umrah ialah: ihram, thawaf, sa’i, dan mencukur atau menggunting rambut.
8.      Cara-cara melaksanakan haji dan umrah, ialah: ifrad, qiran dan tamattu’.
9.      Larangan ketika ihram, yaitu:
Untuk laki-laki yaitu: memakai pakaian berjahit, dan dilarang menutup kepala.
Untuk perempuan yaitu: menutup muka dan dua telapak tangan.



DAFTAR RUJUKAN
As’ad, Aliy. 1979. Terjemahan Fathul Mu’in Kudus:Menara Kudus.
Amar , Imron Abu.  1982.  Fat-hul Qarib, Kudus:Menara Kudus.
Al-Ghazali,  Abu Hamid. 1993 Abu Hamid, Rahasia Haji dan Umroh. Bandung:    Karisma
Rasjid , Sulaiman. 2006. Fiqih islam. Bandung: Sinar Baru Algen Sindo.
Taufiqurrochman. 2009. Manasik Haji dan Spiritual. Malang: UIN-Malang Press.





[1] Aliy As’ad, Terjemahan Fathul Mu’in (Kudus:Menara Kudus, 1979), hlm 103
[2] Sulaiman Rasjid, Fiqih islam (Bandung: Sinar Baru Algen Sindo, 2006), hlm 247

[3] Imron Abu Amar, Fat-hul Qarib, (Kudus:Menara Kudus, 1982) hlm 198
[4] Ibid, hlm 200
[5] Sulaiman Rasjid, Fiqih islam,… hlm 253
[6] Taufiqurrochman, Manasik Haji dan Spiritual.., hlm 27
[7] Sulaiman Rasjid, Fiqih islam,… hlm 255
[8] Taufiqurrochman, Manasik Haji dan Spiritual (Malang: UIN-Malang Press, 2009)  hlm 29
[9] Ibid,… hlm 257
[10] Imron Abu Amar, Fat-hul Qarib,…..hlm 205
[11] Sulaiman Rasjid, Fiqih islam,...275
[12] Imron Abu Amar, Fat-hul Qarib,...hlm 202
[13] Ibid,... hlm 202
[14] Ibid,…hlm 203
[15] Abu Hamid Al-Ghazali, Rahasia Haji dan Umroh, (Bandung: Karisma,1993), hlm 35
[16] Ibid,...hlm 36
[17] Sulaiman Rasjid, Fiqih islam,...264
[18] Ibid,...268
[19] Ibid,...271
[20] Ibid,...273

Tidak ada komentar:

Posting Komentar